Makna Futur

25 03 2010

“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. Al-Anbiya : 19-20)

Dalam Lisanul Arab, arti futur adalah : diam setelah giat, dan lemah setelah semangat. Allah SWT berfirman

Menurut Imam Thabari dalam tafsirnya pengertian “Laa yahturuun:” dalam ayat di atas ialah : para malaikat tidak kenal letih dan tanpa rasa bosan (tafsir at-thabari, 17/12).
 

Ketika membahas kisah zainab ra. Yang meletakkan seutas tali untuk dapat digunakan sebagai tempat bergantung jika datang masa futurnya. Ibnu hajar mengungkapkan arti futur dalam kalimat tersebut adalah : rasa malas untuk berdiri melaksanakan shalat (kitab Fath Al-Bari, 3/36).
 

Sejala dengan pengertia diatas, Abdullah bin Mas’ud ra. Pernah meratap tatkala menderita suatu penyakit pada akhir hayatnya, beliau berujar, “sesungguhnya aku menangis, lantaran diriku di serang penyakit ini pada saat futur. Dan bukan pada saat ijtihad (giat).” Menurut Ibnu Al-Atsir, pengertian futur dalam hal ini adalah : semua keadaan diam, menyedikitnya porsi beribadah dan mengurangnya semangat (An-Nihayah fi Gharib Al-Hadist, karya Ibnu Al-Atsir, 3/408)
 

Futur ialah kendala yang menimpa para aktivis dakwah. Efek terburuknya berupa, ‘ingitha’ (terputusnya aktivitas) setelah istimrar (kontinyu) dilaksanakan. Sedangkan efek minimalnya adalah timbulnya sikap acuh, berkembangnya rasa malas, berlambat-lambat dan bersantai-santai, dimana sikap tersebut datang setelah sikap giat bergerak.
 
Fenomena ‘futur’, sebenarnya masalah yang pasti hadir tanpa ada seorang pun yang dapat mengelak dirinya. Sebagaimana tersirat dalam sinyelemen Rasulullah saw kepada Abdullah bin Amr bin Ash ra:

“Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti fulan, sebelum ini ia rajin bangun pada malam hari (shalat tahajjud), namun kemudian ia tinggalkan sama sekali.” (HR. Bukhori, dalam kitab Fath Al Bari, no: 1152, 3/37).
 

Seorang da’i, sekalipun ia akan mengalami masa-masa futur, namun saat-saat itu bak saat “turun minumnya” seorang prajurit yang berada di medan laga, dimana setelah itu ia akan kembali terjun berjuang dan berjihad. Rasulullah saw pernah bersabda pada sebuah riwayat dari Abdullah bin Amr ra. Yang berbunyi:
 

“Setiap amal itu ada masa semangat dan masa lemahnya. Barangsiapa yang pada masa lemahnya ia tetap dalam sunnah (petunjuk) ku, maka dia telah beruntung. Namun barangsiapa yang beralih keoada selain itu, berarti dia telah celaka.” (Musnad Imam Ahmad, 2/158-188. dan ada pula hadist yang sejalan maknanya dari Abu Hurairah, pada kitab Shahih Al-Jami’ As-Shaghir, no. 2147)
 

Syaikh Islam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkat,”saat-saat futur bagi seorang yang beramal adalah hal wajar yang harus terjadi. Seseorang masa fuurnya lebih membawa ke arah muraqabah (pengawasa oleh Allah) dan pembenahan langkah, selama ia tidak keluar dari amal-amal fardhu, dan tidak melaksanakan sesuatu yang diharamka oleh Allah SWT, diharapkan ketika pulih ia akan berada dala kondisi yang lebih baik dari keadaan sebelumnya. Sekalipun sebenarnya, aktivitas ibadah yang disukai Allah adalah yang dilakuka secara rutin oleh seorang hamba tanpa terputus.” (Madarij As-Salikin, 3/126).
 
 
“Amal agama yang paling disenangi Rasulullah saw. Adalah yang dikerjakan secara terus-menerus oleh pelakunya.” (Al-Bukhori, no. 43. lihat kitab fath al-Bari, 1/101)
 

Amal yang kontinyu lebih disukai karena dua sebab: pertama, bahwa orang yang meninggalkan suau amal setelah ia melaksanakan adalah laksana orang yang berbalik pulang setelah sampa ke tujuan. Dan kedua, sikap terus menerus melakukan sesuatu kebaikan adalah tuntutan suatu pengabdian. Sebagaimana seorang yang bertugas menjaga sebuah gerbang, tidak sama antara mereka yang bertugas menjaganya setiap hari dan setiap saat dengan orang yang hanya menjaganya satu hari penuh kemudian ia pergi. (Fath  Al-Bari, 1/103).
 

Futur bisa pula terbukti lewat kelemahan seoarng da’I dalam upayanya mengejawantahkan karakteristik juru dakwah itu sendiri. Hal ini diantara yang akan meminimkan angka produktivitas dakwah, sejurus dengan perilaku da’I yang mengalami tugas hanya pada bentuk aktivitas yang ia sukai saja, dan enggan melaksanakan aktivitas yang tidak sejalan denan hawa nafsunya.  (c_u)


Aksi

Information

Satu tanggapan

3 01 2011
2010 in review « BlogUmam

[…] Makna Futur March 2010 4 […]

Tinggalkan komentar